Cerdas Dengan Cara Metakognitif – Menjadi lebih pintar dan cerdas setiap saat merupakan suatu keharusan yang tak terbendung lagi. Berbagai perubahan mendadak dan disrupsi yang terjadi di sana-sini mengancam sekaligus memaksa orang-orang untuk menjadi lebih sigap dan adaptif dalam menghadapinya.
Tentunya, literasi, kemampuan berpikir kritis, problem solving serta keterampilan nalar atau kognitif lainnya menjadi garda terdepan dalam menyiasatinya. Kenyataan ini bahkan tidak hanya berlaku pada generasi muda saja, karena dampak dari berbagai guncangan perubahan tak pasti di zaman ini tak lagi memihak pada generasi yang sudah mapan sekalipun.
Contoh bagaimana pandemi dan dampaknya pada gejolak ekonomi mampu memporak-porandakan berbagai bidang dan profesi yang telah berjalan stabil selama beberapa dekade terakhir.
Oleh karena itu mengembangkan potensi kognitif diri adalah kenyataan yang harus dihadapi di zaman yang serba rapuh ini.
Salah satu cara yang paling ampuh dan mudah untuk menjadi lebih cerdas atau meningkatkan potensi kognitif adalah dengan mengetahui bagaimana cara untuk mengetahui yang biasa disebut dengan metakognisi (Flavell dalam Desmita, 2017, hlm. 132).
Metakognitif adalah pengetahuan tentang cara belajar diri sendiri dan pengetahuan tentang bagaimana caranya belajar (Slavin dalam Hasanuddin, 2017, hlm. 305). Melalui kemampuan metakognisi, kita dapat memiliki keterampilan untuk mengetahui seperti apa proses berpikir dan belajar itu bekerja, sehingga dapat mengelolanya dengan lebih baik.
Metakognisi terbagi atas dua komponen utama, yaitu pengetahuan tentang kognisi atau cara berpikir dan belajar, serta kemampuan untuk mengelola kognisi itu sendiri. Salah satu aplikasi sederhana dari kemampuan mengelola kognisi adalah dengan mengetahui gaya belajar seperti apa yang paling kita kuasai.
Apakah gaya belajar visual yang mengandalkan indra penglihatan seperti dengan membaca dan menonton video? Ataukah gaya belajar auditoris yang berarti kita lebih mudah mencerna suatu konsep lewat pendengaran seperti dengan mendengarkan podcast dan ceramah? atau justru gaya kinestetik yang berarti kita lebih mudah belajar dengan cara mempraktikannya secara langsung.
Sejatinya hanya kita sendirilah yang benar-benar tahu mengenai hal ini, akan tetapi terdapat tes gaya belajar yang dapat kita ikuti untuk mengetahuinya dengan pasti. Tes gaya belajar ini telah banyak tersedia secara gratis dan dapat diakses secara online di banyak situs.
Perlu diingat bahwa meskipun kita memiliki preferensi gaya belajar, sejatinya gaya belajar ini adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, dengan mengetahuinya, kita akan mampu memanfaatkan kelebihan serta menutupi kekurangannya secara sadar dan terencana pada semua jenis kegiatan belajar yang tengah kita hadapi.
Misalnya, jika kita mengetahui bahwa gaya belajar auditoris adalah keunggulan kita, maka memaksimalkan setiap pertemuan dengan guru atau dosen di kelas, dan saat kita tidak memahami sesuatu, maksimalkan pertemuan tersebut dengan cara aktif bertanya.
Sebaliknya, jika ternyata kita adalah seorang pembelajar visual, maka lakukan aktivitas mencatat yang akan memaksimalkan pembelajaran ceramah yang sifatnya kebanyakan hanya berupa informasi auditoris saja. Jangan ragu pula untuk menyematkan coretan-coretan gambar sederhana yang akan lebih merangsang gaya belajar visual kita.
ementara itu apabila kita seorang pembelajar kinestetik, maka coba langsung kaitkan berbagai teori yang disampaikan di kelas dengan berbagai kenyataan sehari-hari yang kita hadapi pada saat itu juga. Atau buat mind mapping penerapan informasi tersebut baik dalam pikiran maupun berupa catatan sederhana.
Selanjutnya, pengetahuan akan kognisi atau proses berpikir dan belajar merupakan aset penting yang harus diketahui dan disadari nilainya untuk membuat proses belajar menjadi lebih mudah dan menyenangkan.
Misalnya, pengetahuan mengenai fakta ilmiah bahwa sejatinya cara manusia untuk mengingat adalah dengan memersepsi informasi, lalu mengulangnya pada saat itu juga.
Contohnya seperti pada saat kita ingin menghafal nomor telepon, maka kita akan membaca nomor telepon itu sambil menyebutkannya kembali secara bersamaan, lalu mengulangnya untuk beberapa kali. Pengulangan yang dilakukan itu adalah inti dari proses mental yang membuat kita mampu mengingat atau menguasai sesuatu.
Proses serupa dapat dilihat dari bagaimana suatu trauma mampu merasuki ingatan kita sepanjang hayat, padahal kejadian itu terjadi di masa lalu yang sudah sangat lampau. Ya, penyebabnya adalah karena kita mengalami shock berat sehingga secara tidak sadar terus mengulang-ulang reka adegan traumatis tersebut di dalam pikiran.
Proses penyimpanan informasi ini biasa disebut dengan istilah rehearse seperti bagaimana para aktor melakukan rehearse atau gladi resik untuk mengingat-ingat dialog dan adegan perannya.
Pembelajaran berbasis ceramah dan penugasan yang dipraktikkan di sekolah-sekolah menerapkan fenomena rehearse ini secara langsung. Namun sebetulnya tidak semua orang suka dan mampu melakukan cara belajar seperti itu.
Sebagian orang lebih suka untuk terlibat langsung dalam suatu aktivitas nyata yang secara tidak langsung akan memicu proses rehearse itu sendiri. Pembelajaran semacam ini adalah pembelajaran yang didapatkan ketika kita menekuni suatu profesi atau langsung bekerja di industri dan biasa disebut sebagai belajar autodidak, pengalaman, atau jam terbang karier.
Padahal, proses mental belajar yang terjadi sebetulnya sama saja, yakni proses rehearse itu sendiri, baik dari segi kognisi maupun psikomotor yang melibatkan ingatan gerak otot atau muscle memory.
Seperti gaya belajar, cara belajar ini juga sejatinya tidak dapat dipisahkan yang berarti penguasaan teori dan praktik adalah cara belajar yang saling melengkapi. Inilah mengapa fokus pendidikan hari ini lebih mengandalkan model pembelajaran berbasis masalah dan proyek nyata yang harus dipecahkan sendiri oleh siswa, seperti pada kegiatan belajar kelompok, magang, dan proyek akhir semester.
Dalam lingkup pembelajaran di sekolah, strategi metakognitif sangatlah penting untuk diterapkan. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa mengajar strategi metakognitif mampu meningkatkan hasil belajar siswa dengan hasil yang positif (National Research Council, 1999). Anak yang sejak dini dilatih menggunakan strategi metakognitif menunjukkan hasil yang positif pada hasil belajar dan adaptabilitas mereka baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Selain itu, menerapkan strategi metakognitif dapat menjadikan seseorang menjadi pembelajar mandiri dan pembelajar sepanjang hayat. Strategi metakognitif mampu melatih pembelajar untuk mentransfer atau mengaplikasikan apa yang telah dipelajari pada konteks yang berbeda. Dengan strategi metakognitif, seseorang menjadi mampu mengukur keterbatasannya, apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah yang ia hadapi, kemudian menyusun strategi belajar yang sesuai dengan gaya belajarnya secara mandiri sehingga hasil belajarnya dapat berakselerasi bahkan mampu melampaui hasil mereka yang hanya berlandaskan pada strategi kognitif seperti menghafal, memonic, dan seterusnya. Sebagai guru yang konsisten melatih strategi metakognitif pada siswa, kita tidak akan mendengar siswa berkata ‘Saya tidak mengerti’ akan tetapi lebih pada ‘Mengapa tidak mengerti dan bagaimana cara agar saya mengerti.’
Penjelasan di atas terdengar klise, naif, dan normatif. Bahkan mungkin banyak yang bersikap skeptis dan menganggap melatih strategi metakognitif sangat sulit diterapkan di kelas dengan kondisi lingkungan belajar dan sederet permasalahan pendidikan kita di Indonesia. Padahal pada kenyataannya, melatih strategi metakognitif dapat dilakukan dengan langkah langkah sederhana. Pada intinya adalah membiasakan pembelajaran yang fokus pada pemecahan masalah, berorientasi proses, dan pembelajaran reflektif. Mengapa pembelajaran reflektif? Karena pembelajaran reflektif merupakan level tertinggi dalam strategi metakognitif (Perkins, 1992).
Langkah langkah sederhana yang bisa dilakukan di antaranya sebagai berikut.
Guru menulis beberapa pertanyaan terkait materi sebelumnya, meminta siswa untuk menuliskan pada selembar kertas tanpa menulis nama. Pertanyaan terkait tentang topik, kendala, tantangan, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Guru meminta siswa untuk mendiskusikan mengapa kendala muncul, pemecahan masalahnya, dan apa yang akan dilakukan jika berada pada situasi yang sama.
Setiap akhir pembelajaran, siswa diminta menulis refleksi singkat dengan pertanyaan-pertanyaan panduan seperti apa yang sudah dipelajari, apa yang belum dimengerti, mengapa tidak dipahami, apa yang perlu dilakukan untuk selanjutnya, bagaimana perasaannya ketika mempelajari materi tersebut, dan seterusnya.
KWL singkatan dari (Know, Want, Learned atau What do you know? What do you want to learn? What have you learned?). Langkah-langkahnya adalah pada awal pembelajaran siswa diminta membuat tabel yang berisi 3 kolom yang berisi ‘Apa yang diketahui’ (Know), ‘Apa yang ingin dipelajari’ (Want), ‘Apa yang telah dipelajari’ (Learned). Di awal pembelajaran siswa mengisi kolom Know dan Want. Selanjutnya, pada akhir pembelajaran, meminta siswa untuk merefleksikan apa yang sudah dipelajari di kolom ‘Apa yang sudah dipelajari’ (Learned).
Berangkat organisasional di sini dapat berupa cek list, rubrik, atau peta konsep. Siswa diminta mengisi refleksi berupa cek list, rubrik, atau peta konsep terkait refleksi pembelajaran.
Disela-sela pembelajaran, guru dapat secara Periodik menanyakan kepada siswa tentang apa yang telah diketahui atau dipelajari, jika siswa kebingungan, tanyakan apa yang tidak dipahami dan mengapa. Minta mereka memecahkan masalahnya sendiri disesuaikan dengan pengalaman masing masing.
Model pembelajaran eksplisit dapat berupa langkah langkah atau siklus pembelajaran (teaching and learning cycle) yang secara eksplisit diajarkan kepada siswa. Sebagai contoh, dalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis teks, model pembelajaran yang biasa digunakan diantaranya Building knowledge of Field, Text Modelling, Joint Construction, Independent Construction, dan Linking related text di mana masing masing tahapan secara eksplisit diajarkan kepada siswa. Dengan model eksplisit seperti ini, siswa dapat dengan mudah memanfaatkan panduan siklus pembelajaran apabila menemukan kendala dalam pembelajaran atau menjadi road map dalam pembelajaran.
Langkah langkah di atas hanyalah beberapa dari sekian banyak cara melatih strategi metakognitif dalam pembelajaran. Namun, dari keseluruhan langkah langkah yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa pembiasaan pembelajaran reflektif dan kritis dalam arti selalu mengaitkan dengan pengalaman siswa adalah inti dari strategi metakognitif. Apabila prinsip prinsip dan langkah langkah pembelajaran metakognitif diterapkan secara konsisten, besar kemungkinan siswa akan terlatih secara mandiri dalam menerapkan strategi pembelajaran metakognitif.
Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976, yaitu seorang psikolog dari Universitas Stanford. Menurutnya metakognisi merupakan pemikiran tentang pemikiran (thinking about thinking) atau pengetahuan seseorang tentang proses kognitifnya (One’s knowledge concerning one’s own cognitive processes). Kata metakognisi terdiri dari dua kata, yaitu meta dan kognisi. Meta artinya setelah, melebihi,atau di atas. Sedangkan kognisi adalah mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses berpikir.
Metakognisi (metacognition) adalah kesadaran, keyakinan dan pengetahuan seseorang tentang proses dan cara berpikir pada hal-hal yang mereka lakukan sendiri sehingga meningkatkan proses belajar dan memori.
Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri, sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Metakognisi merupakan aktivitas mental yang menjadikan seseorang dapat mengatur, mengorganisasi dan memantau seluruh proses berpikir yang dilakukan selama menyelesaikan masalah.
Metakognisi juga tidaklah terbatas pada pendapat ahli dan teori-teori yang sudah mapan saja, karena sejatinya proses mental manusia itu amatlah unik dan beragam sehingga tidak dapat digeneralisasi seutuhnya.
Contohnya, Penulis materi video ini memiliki cara tersendiri untuk belajar, yakni dengan cara menulis. Saat tidak menulis, penulis kurang terangsang untuk mau membaca. Akan tetapi saat menulis, penulis malah bisa menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk membaca daripada proses penulisannya sendiri.
Tentunya cara ini tidak akan sama dampaknya bagi semua orang. Cobalah cari cara unik semacam itu yang bisa membuat kita terstimulus untuk belajar.
Misalnya, bisa jadi ternyata gaya belajar yang efektif untuk kita adalah dengan memutar video pembelajaran namun tidak menonton dan hanya mendengarkannya saja sambil melakukan aktivitas lain. Selain menghemat waktu, belajar sekilas seperti ini juga dapat lebih efektif daripada memaksakan fokus kita dalam sekali duduk.
Rahasianya ada pada pengulangan dari video itu sendiri. Saat kita mendengarkan untuk pertama kalinya, kita hanya akan menangkap beberapa bagian yang menarik perhatian saja. Namun ketika kita mendengarkan untuk kedua kalinya, secara otomatis perhatian kita akan lebih tertuju pada bagian lain yang belum kita perhatikan, karena bagian yang telah kita perhatikan telah kehilangan daya tariknya.
Dengan begitu, pemahaman akan bahu-membahu saling mengisi seiring dengan jumlah diputar ulangnya video tersebut. Proses mental kognisi ini disebut sebagai chuncking atau memotong-motong informasi menjadi bagian lebih kecil, karena sejatinya daya perhatian kita memiliki batasan untuk menyerap banyak informasi secara bersamaan.
Chunking berlaku pula untuk aktivitas belajar lewat membaca. Daripada memaksakan untuk memahami suatu buku dalam sekali jalan, lebih baik lewati hal-hal yang belum kita pahami dan selesaikan bukunya terlebih dahulu. Setelah itu, baca ulang buku untuk mendapatkan berbagai bagian yang belum kita serap.
Sebetulnya, masih banyak lagi berbagai pengetahuan dan pengelolaan kognitif lain yang melingkupi ranah metakognitif ini. Namun, lagi-lagi yang akan benar-benar mampu mengetahui berbagai cara mengetahui ini adalah diri kita sendiri. Lengkapi literasi kognisi, dan cobalah terus bereksperimen untuk benar-benar mengetahui cara pribadi yang nyaman dalam belajar.
Dengan mengetahui cara pribadi yang nyaman untuk belajar, proses pembelajaran akan jauh lebih mudah dan menyenangkan, sehingga daya kritis kita akan terpacu, pemecahan masalah menjadi cair, serta penyerapan informasi baru akan berjalan secara otomatis yang berarti kompetensi kognitif kita akan terlatih secara holistik.
Menurut Flavell (Desmita, 2010), komponen metakognisi ada dua, yaitu pengetahuan metakognisi dan pengalaman metakognisi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan yang diperoleh tentang proses-proses kognitif yaitu pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Pengetahuan metakognisi juga diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori jangka panjang yang dapat diaktifkan atau dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa disengaja atau secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu.
Pengetahun metakognisi terdiri dari tiga jenis, yaitu:
Pengalaman atau regulasi metakognisi adalah pengaturan kognisi dan pengalaman belajar seseorang yang mencakup serangkaian aktivitas yang dapat membantu dalam mengontrol kegiatan belajarnya. Pengalaman-pengalaman metakognisi melibatkan strategi-strategi metakognisi atau pengaturan metakognisi. Strategi-strategi metakognisi merupakan proses-proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah dicapai.
Pengalaman metakognisi terdiri dari tiga proses, yaitu:
Kemampuan metakognisi berkaitan dengan proses berpikir siswa tentang berpikirnya agar menemukan strategi yang tepat dalam memecahkan masalah. Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. Kemampuan metakognisi sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah agar dalam bekerja siswa lebih sistematis dan terarah serta mendapatkan hasil yang baik.
Menurut Swartz dan Perkins (Mahromah, 2012), kemampuan metakognisi seseorang terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
Tacit use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang keputusan tersebut. Dalam hal ini, siswa menerapkan strategi atau keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal menjawab dalam menyelesaikan masalah.
Aware use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa melakukan pemikiran tersebut. Dalam hal ini siswa menyadari bahwa dirinya harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengenai alasan pemilihan langkah tersebut.
Strategic use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan individu dalam proses berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategi-strategi khusus yang dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah.
Reflective use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan refleksi individu dalam proses berpikirnya sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkah-langkah penyelesaian masalah.
Kemampuan metakognisi seseorang dapat diketahui melalui tiga komponen atau elemen dasar, yaitu: elemen perencanaan, elemen kontrol, dan elemen penilaian. Adapun indikator dari komponen metakognisi tersebut adalah sebagai berikut:
Menurut Apriani (2012), langkah-langkah pembelajaran menggunakan metode metakognisi adalah sebagai berikut:
Pertama-tama guru menjelaskan tujuan tentang topik yang akan dipelajari. Setiap siswa dibagi bahan ajar, dan penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertera dalam bahan ajar tersebut. Siswa dibimbing menanamkan kesadaran dengan bertanya dan menjawab kepada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahan ajar. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, siswa diharapkan dapat memahami uraian materi dan sadar apa yang dilakukannya, bagaimana melakukannya, bagian mana yang belum dipahami pertanyaan apa yang timbul dan bagaimana upaya untuk mencari solusinya. Contoh pertanyaannya seperti: Apakah saya memahami semua uraian materi tadi?, Jika tidak memahami, apa yang ingin saya tanyakan? Mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan teman sekelompok. Apa hasil diskusi tersebut?
Siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama dan mengerjakan secara individual. Guru berkeliling kelas dan memberikan pengaruh timbal balik secara individual. Pengaruh timbal balik metakognitif akan menuntun siswa untuk memusatkan perhatian pada kesalahannya dan memberikan petunjuk agar siswa dapat mengoreksinya sendiri. Guru membantu siswa mengawasi cara berpikirnya, tidak hanya memberikan jawaban benar ketika siswa membuat kesalahan tetapi juga menuntun proses berpikirnya agar siswa menemukan jawaban yang benar.
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan dikelas. Pada tahap ini siswa menyimpulkan sendiri, dan guru membimbing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang kamu pelajari hari ini?, Apa yang kamu pelajari tentang diri kamu sendiri dalam menyelesaikan soal matematika yang diberikan?
Tinggalkan Komentar